Dari Pelajar DO Menjadi Atlet Olahraga

Written on 05.28 by Unknown

Oleh : Viny Alfiyah

Street Hooligans, itulah sebutan masyarakat Inggris bagi orang yang terlibat geng-geng jalanan. Entah itu di London, Manchester, ataupun kota-kota lainnya di kerajaan tersebut. Agaknya, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan situasi premanisme di kalangan pelajar, terutama di lingkungan Sukabumi yang identik dengan aksi tawurann antar pelajar, penganiayaan, serta sabotase kendaraan antar pelajar.
            Dalam Wikipedia, premanisme berasal dari kata bahasa Belanda, yaitu vrijman yang mempunyai arti orang bebas, merdeka, dan isme atau aliran adalah sebutan peyoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan terhadap kelompok masyarakat lain.
            Orang tua, guru, dan teman merupakan pihak-pihak yang sangat mempengaruhi perilaku seorang pelajar, orang tua yang baik tidak akan membiarkan putra-putrinya bergaul dengan teman-teman yang memiliki sifat-sifat yang tidak baik, dalam hal ini orang tua dapat menjalin komunikasi dengan  pihak sekolah terutama dengan guru/wali kelas, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan BK. Sebagai sesama pelajar, penulis pun merasakan bahwa kita memang harus mau berjiwa besar dan menerima dengan siapa pun teman kita, tetapi itu bukan berarti kita tidak dapat memilih teman dan mencoba menyadarkan teman kita yang masih tersesat dan bersama dengan guru ikut berperan serta membimbingnya kembali ke jalan yang benar.
            Tetapi kondisi seperti yang penulis uraikan di atas sering tidak sejalan dengan realita, orang tua terkadang seakan ‘menelantarkan’ anaknya sendiri dan menyerahkan urusan pendidikan serta pengajaran anak kepada lembaga sekolah dalam hal ini guru. Guru pun kadang kala kewalahan dengan perilaku siswa-siswi di sekolah dan ‘lepas tangan’ jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tak dapat dipungkiri bahwa memang banyak guru di Sukabumi yang ‘berkualitas’. Namun, tak dapat dibilang tidak ada juga guru yang ‘kurang’ berkompeten dalam menjalankan tugas mulianya. Lingkungan pergaulan yang salah seakan memfasilitasi  pelajar untuk semakin berbuat onar. Contoh nyata akibatnya yaitu banyaknya gerombolan pelajar yang sering nongkrong di Lapang Merdeka Sukabumi, paling sedikit satu kali seminggu mereka sering terlihat bergerombol di sana. Terlebih jika diadakan konser yang terbuka untuk umum, dapat dipastikan akan terjadi tawuran antar pelajar. Jumlah aparat keamanan yang terbatas membuat para pelajar semakin leluasa untuk saling adu jotos.
            Memang terdapat sanksi dari aparat kepolisian bagi para pelaku tawuran yang tertangkap, sebagai contoh di aparat Polres Kota Sukabumi dapat menahan pelaku aksi tawuran selama 12-24 jam, dibina dengan diberikan pencerahan keagamaan, memberi peringatan kepada pihak lembaga sekolah dimana pelaku belajar lalu siswa dipulangkan. Tetapi entah mengapa, pada akhir pekan selanjutnya siswa tersebut akan melakukan hal yang sama dengan berulang-ulang hingga ia dikeluarkan dari lembaga sekolah di mana ia belajar. Tentu saja hampir dapat dipastikan tidak akan ada sekolah negeri yang akan menerima siswa tersebut karena pasti akan terdapatt catatan di buku rapornya. Jika punya ketekunan dan keahlian tertentu mungkin selepas drop out (DO) siswa tersebut dapat menjadi seorang pengusaha layaknya Bob Sadino alih-alih seorang ahli software seperti Bill Gates, almarhum Steve Jobs, atau pun sang CEO Facebook, Mark Zuckerberg. Namun, kenyataan kadang tak sesuai harapan, alih-alih menjadi wirausahawan malah menjadi preman.
            Untuk meredam dan menghilangkan kemungkinan terbentuknya jaringan premanisme, diperlukan usaha dan sinergitas yang kuat antar komponen perangkat daerah, seperti Disdik, Disporabudpar, Pemerintah Daerah, aparat kepolisian, lembaga sekolah, serta masyarakat.
            Salah satunya dengan diadakannya sarana olahraga bela diri yang disukai masing-masing individu ataupun diikutkan dalam Seni Bela Diri Campuran atau MMA (Mixed Martial Arts). Sayang sekali jika terdapat nyali, kepercayaan diri, kekuatan fisik yang tangguh, dan hasrat untuk menjadi seorang pemenang yang besar harus disia-siakan dan malah menjadi bumerang bagi diri sendiri, yang harusnya menjadi potensi untuk mendulang prestasi.
            Semoga saja pemerintah melihat hal ini dari negatif menjadi celah positif untuk membawa nama Sukabumi menjadi yang terbaik di Nusantara.

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Posting Komentar

Senin, 08 Oktober 2012

Dari Pelajar DO Menjadi Atlet Olahraga

Oleh : Viny Alfiyah

Street Hooligans, itulah sebutan masyarakat Inggris bagi orang yang terlibat geng-geng jalanan. Entah itu di London, Manchester, ataupun kota-kota lainnya di kerajaan tersebut. Agaknya, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan situasi premanisme di kalangan pelajar, terutama di lingkungan Sukabumi yang identik dengan aksi tawurann antar pelajar, penganiayaan, serta sabotase kendaraan antar pelajar.
            Dalam Wikipedia, premanisme berasal dari kata bahasa Belanda, yaitu vrijman yang mempunyai arti orang bebas, merdeka, dan isme atau aliran adalah sebutan peyoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan terhadap kelompok masyarakat lain.
            Orang tua, guru, dan teman merupakan pihak-pihak yang sangat mempengaruhi perilaku seorang pelajar, orang tua yang baik tidak akan membiarkan putra-putrinya bergaul dengan teman-teman yang memiliki sifat-sifat yang tidak baik, dalam hal ini orang tua dapat menjalin komunikasi dengan  pihak sekolah terutama dengan guru/wali kelas, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan BK. Sebagai sesama pelajar, penulis pun merasakan bahwa kita memang harus mau berjiwa besar dan menerima dengan siapa pun teman kita, tetapi itu bukan berarti kita tidak dapat memilih teman dan mencoba menyadarkan teman kita yang masih tersesat dan bersama dengan guru ikut berperan serta membimbingnya kembali ke jalan yang benar.
            Tetapi kondisi seperti yang penulis uraikan di atas sering tidak sejalan dengan realita, orang tua terkadang seakan ‘menelantarkan’ anaknya sendiri dan menyerahkan urusan pendidikan serta pengajaran anak kepada lembaga sekolah dalam hal ini guru. Guru pun kadang kala kewalahan dengan perilaku siswa-siswi di sekolah dan ‘lepas tangan’ jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tak dapat dipungkiri bahwa memang banyak guru di Sukabumi yang ‘berkualitas’. Namun, tak dapat dibilang tidak ada juga guru yang ‘kurang’ berkompeten dalam menjalankan tugas mulianya. Lingkungan pergaulan yang salah seakan memfasilitasi  pelajar untuk semakin berbuat onar. Contoh nyata akibatnya yaitu banyaknya gerombolan pelajar yang sering nongkrong di Lapang Merdeka Sukabumi, paling sedikit satu kali seminggu mereka sering terlihat bergerombol di sana. Terlebih jika diadakan konser yang terbuka untuk umum, dapat dipastikan akan terjadi tawuran antar pelajar. Jumlah aparat keamanan yang terbatas membuat para pelajar semakin leluasa untuk saling adu jotos.
            Memang terdapat sanksi dari aparat kepolisian bagi para pelaku tawuran yang tertangkap, sebagai contoh di aparat Polres Kota Sukabumi dapat menahan pelaku aksi tawuran selama 12-24 jam, dibina dengan diberikan pencerahan keagamaan, memberi peringatan kepada pihak lembaga sekolah dimana pelaku belajar lalu siswa dipulangkan. Tetapi entah mengapa, pada akhir pekan selanjutnya siswa tersebut akan melakukan hal yang sama dengan berulang-ulang hingga ia dikeluarkan dari lembaga sekolah di mana ia belajar. Tentu saja hampir dapat dipastikan tidak akan ada sekolah negeri yang akan menerima siswa tersebut karena pasti akan terdapatt catatan di buku rapornya. Jika punya ketekunan dan keahlian tertentu mungkin selepas drop out (DO) siswa tersebut dapat menjadi seorang pengusaha layaknya Bob Sadino alih-alih seorang ahli software seperti Bill Gates, almarhum Steve Jobs, atau pun sang CEO Facebook, Mark Zuckerberg. Namun, kenyataan kadang tak sesuai harapan, alih-alih menjadi wirausahawan malah menjadi preman.
            Untuk meredam dan menghilangkan kemungkinan terbentuknya jaringan premanisme, diperlukan usaha dan sinergitas yang kuat antar komponen perangkat daerah, seperti Disdik, Disporabudpar, Pemerintah Daerah, aparat kepolisian, lembaga sekolah, serta masyarakat.
            Salah satunya dengan diadakannya sarana olahraga bela diri yang disukai masing-masing individu ataupun diikutkan dalam Seni Bela Diri Campuran atau MMA (Mixed Martial Arts). Sayang sekali jika terdapat nyali, kepercayaan diri, kekuatan fisik yang tangguh, dan hasrat untuk menjadi seorang pemenang yang besar harus disia-siakan dan malah menjadi bumerang bagi diri sendiri, yang harusnya menjadi potensi untuk mendulang prestasi.
            Semoga saja pemerintah melihat hal ini dari negatif menjadi celah positif untuk membawa nama Sukabumi menjadi yang terbaik di Nusantara.

0 komentar:

Posting Komentar